Rekonstruksi pembunuhan Juwita oleh tersangka Kelasi 1 Jumran. (Antara Foto)
BANJARBARU – Sabtu pagi yang panas di Banjarbaru. Di sebuah halaman luas yang dijaga ketat, Polisi Militer Angkatan Laut memulai reka ulang kisah kelam yang berujung maut. Sang tersangka, Kelasi Satu Jumran, menunduk lesu. Ia tak banyak bicara, tapi tubuhnya memperagakan satu demi satu adegan yang diyakini sebagai bagian dari skenario pembunuhan Juwita, kekasih sekaligus calon istrinya.
Juwita, 23 tahun, wartawati dari media lokal di Banjarbaru, ditemukan tak bernyawa pada 22 Maret lalu. Tubuhnya tergeletak di pinggir jalan kawasan Gunung Kupang. Namun drama tragis itu tak dimulai di sana.
Dalam rekonstruksi yang digelar 5 April 2025, terungkap bahwa Juwita dibunuh di dalam mobil, setelah lebih dulu dipindahkan ke kursi belakang. “Dari reka adegan itu, kita bisa lihat bagaimana pembunuhan ini dilakukan dengan tenang, sistematis,” kata Dedi Sugianto, pengacara keluarga Juwita. Cara membunuhnya pun dingin: cekikan hingga nyawa lepas.
Setelah menghabisi Juwita, Jumran tidak panik. Ia menunggu. Mencari waktu yang sepi. Menata tubuh korban, lalu meninggalkan jasad dan barang-barang milik Juwita seolah kecelakaan biasa. Motor dan ponsel pun diletakkan hati-hati di lokasi penemuan.
“Semuanya di-setting,” ujar Dedi. Tak ada darah, tak ada teriakan. Hanya kesunyian yang menjadi saksi.
Pengungkapan kasus ini tak mudah. Butuh tekanan dari komunitas jurnalis dan organisasi pers lokal. Kapolda Kalimantan Selatan Irjen Rosyanto Yudha Hermawan turun tangan. Penyidikan berpindah dari kepolisian umum ke ranah militer, karena tersangkanya adalah anggota aktif TNI AL.
Namun, di balik cerita pembunuhan, muncul babak baru yang lebih kelam. Kuasa hukum keluarga korban, Muhamad Pazri, mengungkap adanya dugaan pemerkosaan. Ditemukan sperma dalam volume besar di tubuh Juwita. Siapa pemiliknya? Tes DNA yang diajukan keluarga jadi krusial.
Sayangnya, Kalimantan Selatan tak punya fasilitas forensik yang memadai. “Kami minta agar tes dilakukan di Surabaya atau Jakarta. Ini soal keadilan,” ujar Pazri.
Kini, pengakuan Jumran makin menegaskan cerita yang selama ini hanya beredar dalam bisik-bisik. Ia mengakui membunuh Juwita. Dua alat bukti sudah dikantongi: pengakuan dan hasil forensik. “Kami meyakini ini pembunuhan berencana,” kata Pazri.
Tak ada keterangan resmi dari POM AL usai rekonstruksi. Tak ada permintaan maaf. Hanya sunyi yang tersisa di antara garis polisi dan kamera wartawan yang merekam luka keluarga Juwita.
Seorang wartawati muda, dibungkam oleh orang yang ia cintai. Dalam mobil yang sempit, dalam malam yang panjang, dan dalam sistem yang belum tentu berpihak. (iha)