TANGERANG SELATAN || Di Pasar Bintaro 2 Jakarta, di bawah terik matahari dan riuh rendah pasar, Timin dan istrinya membakar sate saban hari. Setusuk demi setusuk sia letakkan di atas bakaran hingga penuh berbaris. Mereka menyalakan bukan hanya bara, tapi juga harapan.
Tidak ada billboard besar. Tidak ada media sosial. Hanya asap tipis, senyum tulus, dan kepercayaan yang dibangun perlahan.
Tanpa sadar, setiap sate yang Timin jual adalah sebuah *Piece of Business (POB)* — potongan kecil dari dunia besar pelanggan yang sedang mencari sesuatu: rasa kenyang, kenyamanan, atau mungkin hanya secuil rasa pulang.
Dalam dunia manajemen, POB berarti satu unit keputusan pembelian yang spesifik, dipengaruhi oleh konteks dan kebutuhan saat itu (Cespedes, 2021). Satu produk yang sama, satu harga yang sama, bisa terasa berbeda nilainya bagi orang yang berbeda, di saat yang berbeda.
Dan Timin memahami itu, bukan dari teori atau buku, tetapi dari bertahun-tahun berdiri di balik gerobak, melihat wajah-wajah lapar, lelah, terburu-buru, dan kadang-kadang, wajah-wajah yang hanya butuh sedikit perhatian.
Setiap pagi, sebelum jam 08.30, Timin dan istrinya sudah bersiap. Lontong-lontong kecil dibungkus rapi. Ukurannya sedikit lebih kecil dari biasa, tapi tetap pulen dan mengundang.
_”Rp3 ribu ya, Pak, biar orang tetap mau beli,”_ bisik istrinya.
Timin hanya mengangguk. _”Yang penting tetap pulen, tetap ikhlas,”_ jawabnya sambil membalik sate di atas bara.
Di hari-hari biasa, sate Timin adalah santapan cepat bagi para warga Bintaro dan pembelanja Pasar Bintaro 2. Tapi menjelang Ramadan, POB berubah. Orang-orang mulai berburu makanan untuk berbuka puasa, mencari rasa rumahan di tengah kota. Timin tahu waktunya membaca perubahan itu.
Setiap awal Ramadan, Timin menutup gerobaknya lebih awal dari biasanya. Mereka pulang kampung, menenangkan hati, mengisi ulang tenaga. Tapi ia tahu, Jakarta akan memanggil kembali. Seminggu sebelum Lebaran, saat banyak pedagang belum kembali dan mal penuh sesak, Timin dan istrinya sudah kembali berjualan.
Mereka menyalakan bara, menyusun sate, dan membiarkan aroma akrab itu memenuhi udara yang lengang.
Saat Lebaran tiba, gerobak itu kosong di hari H dan H+1. Tapi di H+2, asap kembali mengepul.
_”Pak, buka lagi ya?”_ tanya seorang pelanggan yang lewat.
Timin tersenyum kecil.
“Kita buka. Biar orang tetap bisa makan enak, meski masih suasana Lebaran.”
Timin memahami bahwa _POB adalah tentang hadir di saat pelanggan membutuhkan sesuatu_, entah itu rasa kenyang, rasa nyaman, atau sekadar rasa ditemani.
Ia tidak pernah berbicara tentang _Zone of Possible Agreement (ZOPA)_, tentang bagaimana harga harus berada di antara biaya minimum dan nilai maksimum pelanggan (Cespedes, 2021).
Tapi setiap tusuk sate yang ia jual, setiap lontong kecil yang ia bungkus, adalah bukti nyata bahwa bisnis sejati tidak hidup dari teori — bisnis sejati hidup dari kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.
Dari bara kecil gerobaknya, Timin membangun lebih dari sekadar usaha. Ia membangun jembatan ke hati pelanggan, satu tusuk sate, satu lontong, satu senyuman pada satu waktu.
Anak sulungnya yang kini membuka warung soto di Cibubur adalah bukti bahwa nilai-nilai kecil itu, jika dijaga, bisa menghidupi bukan hanya satu generasi, tapi lebih.
Timin menunjukkan kepada kita bahwa membaca Piece of Business bukan hanya tentang menjual. Ini tentang mengenali kapan pelanggan lapar, kapan pelanggan butuh kenyamanan, dan kapan pelanggan hanya butuh sedikit rasa pulang.
Dan mungkin, dalam setiap asap tipis yang mengepul dari gerobak kecil itu, ada pelajaran yang lebih besar daripada semua teori bisnis yang pernah ditulis:
Untuk berhasil, kadang kita tidak perlu tahu semua istilah hebat. Cukup punya hati yang sabar, mata yang awas, dan tangan yang siap bekerja. Sisanya akan mengikuti.
RUJUKAN
Cespedes, F. V. (2021). Sales management that works: How to sell in a world that never stops changing. Harvard Business Review Press.
Rempoa, 09 April 2025
Aruman