BerandaOpiniMata Baru

Mata Baru

TANGERANG SELATAN || Kadang kita merasa dunia berjalan begitu-begitu saja. Apa yang terlihat di depan mata terasa biasa, bahkan membosankan. Tapi mungkin, justru di sanalah sesuatu yang luar biasa tersembunyi — menunggu untuk ditemukan.

Ada kisah tentang George de Mestral, seorang insinyur Swiss, yang suatu hari pulang dari berjalan-jalan di hutan. Di baju dan celananya menempel banyak _burr_ — duri kecil yang menempel keras, seperti enggan dilepas

Banyak orang mungkin akan mengeluh, menepuk-nepuk celana, lalu melupakan kejadian itu. Tapi George tidak. Dia berhenti. Ia jongkok, mengambil satu burr dengan jemarinya, memandangnya dengan rasa ingin tahu yang sederhana tapi dalam.

“Apa yang membuat benda kecil ini begitu kuat menempel?” pikirnya.

George membawa duri-duri kecil itu. Di ruang kerjanya, George menaruh burr itu di bawah mikroskop. Ia membungkuk, menahan napas, dan untuk pertama kalinya, melihat dunia lain — kait-kait kecil yang meraih serat kain, mengunci erat seperti dua tangan kecil yang saling berpegangan.

Dalam kesunyian laboratoriumnya itulah lahir ide yang kelak mengubah dunia: *Velcro* (Brandenburger, 2019). Velcro adalah perekat dua sisi yang bisa dibuka dan ditutup berulang kali. Satu sisi berisi kait kecil, sisi lainnya berisi serat halus seperti lingkaran. Saat ditekan bersama, keduanya menempel. Nama “Velcro” berasal dari bahasa Prancis: “velours” (beludru) dan “crochet” (kait).

Ada juga Robert Taylor. Di sebuah kamar mandi biasa, ia memperhatikan sabun batang yang basah, licin, dan lengket di pinggir wastafel. Pemandangan yang bagi kebanyakan orang mungkin sepele, baginya membuka ruang untuk bertanya: bagaimana jika sabun itu bisa lebih bersih, lebih indah? Dari pertanyaan kecil itu, terciptalah Softsoap, sabun cair dalam botol pompa yang hari ini jadi bagian dari keseharian kita.

Keduanya menunjukkan sesuatu yang sederhana, tapi dalam. Kadang yang kita perlukan bukan ide besar, tetapi keberanian untuk melihat yang kecil dengan cara yang baru. Mereka bukan orang yang mengejar dunia baru. Mereka adalah orang-orang yang membiarkan dunia yang biasa berbicara kembali, dengan suara yang baru.

Blaise Pascal pernah menulis bahwa pikiran besar bukan sibuk mengejar yang luar biasa, tetapi justru mampu menemukan makna dalam hal-hal yang biasa.

_”Saat kita menemui gaya yang alami, kita terkejut dan merasa senang; karena kita mengira akan menemukan seorang penulis, namun yang kita temukan adalah seorang manusia.”_ (Pensées, Blaise Pascal, 1670)

Mungkin ini sebabnya kenapa perubahan besar sering bermula dari momen kecil — dari melihat sesuatu yang selama ini kita lewati begitu saja.

Dalam seni, ada istilah _defamiliarization_ — membuat hal-hal yang biasa terasa asing kembali. Viktor Shklovsky menulis tentang ini ketika menggambarkan karya Tolstoy. Dan Jean-Luc Godard membawa teknik itu ke layar lebar lewat film _Breathless_, mengganggu alur gambar yang mulus agar kita benar-benar _merasakan_ kekacauan hidup karakter-karakternya (Brandenburger, 2019).

Terkadang, otak kita sendiri adalah juga jadi tantangan. Fenomena yang disebut _Troxler fading_ menunjukkan bahwa ketika kita melihat sesuatu terlalu lama, otak kita berhenti memprosesnya. Ia menjadi “tak terlihat” meski berada tepat di hadapan kita (Brandenburger, 2019).

Tapi mungkin, justru di situlah peluang tersembunyi.

Mungkin perubahan tidak selalu tentang menemukan hal baru, tapi tentang melihat hal lama dengan mata yang baru.

Mungkinkah kita melihat jalanan yang macet bukan sebagai hambatan, tapi sebagai jeda untuk berpikir atau menikmati musik. Mungkin banyak orang stres di tengah kemacetan. Tapi dengan perspektif baru, macet bisa jadi momen refleksi, kesempatan menikmati podcast, atau sekadar menikmati waktu sendiri.

Atau, bayangkan kita lagi di angkot, AC mati, sesak, keringetan. Tiba-toiba orang di sebelah kita tidur sambil ngorok. Kita kesel? Disitu kita membayangkan melihat seseorang kecapean. Dia mungkin baru pulang kerja, mungkin harus bangun lagi jam lima besok pagi.

Dengan mata yang baru, kita melihat ngoroknya dia itu bukan gangguan. Itu tanda bahwa hidup ini keras, dan orang-orang di sekitar kita sedang berjuang, sama kerasnya seperti kita. Dan sekali kita melihat itu, rasanya dunia jadi lebih manusiawi, lebih hangat, walau masih tetap sumpek.

Seperti Sherlock Holmes yang diajarkan oleh Maria Konnikova dalam bukunya _Mastermind,_terkadang yang membedakan bukan seberapa tajam mata kita, tapi seberapa jernih kita mengamati — membedakan apa yang kita lihat dari apa yang kita pikirkan tentangnya.

Dan mungkin, saat kita memilih untuk memperhatikan sedikit lebih dalam, bertanya sedikit lebih jauh, dunia pun perlahan membuka diri — memperlihatkan keajaiban-keajaiban kecil yang selama ini tersembunyi.(Aruman)

 

DAFTAR PUSTAKA

Brandenburger, A. (2019, April 16). To Change the Way You Think, Change the Way You See. Harvard Business Review.

Konnikova, M. (2013). Mastermind: How to think like Sherlock Holmes. Penguin Books.

Pascal, B. (1670). Pensées. (A. J. Krailsheimer, Trans.). Penguin Books, 1995.

Translate »
error: kabarmetro.id