BerandaHukum & KriminalLKBPH PWI Pusat Kutuk Pembunuhan Wartawati di Banjarbaru: Usut...

LKBPH PWI Pusat Kutuk Pembunuhan Wartawati di Banjarbaru: Usut Secara Transparan

JAKARTA || Lembaga Konsultasi, Bantuan dan Penegakan Hukum, Persatuan Wartawan Indonesia (LKBPH PWI Pusat) mengutuk keras kasus pembunuhan Juwita, wartawati media online di Banjarbaru, Kalsel pada akhir Maret 2025. Kasus pembunuhan Juwita adalah bentuk kekerasan fisik terhadap seorang wanita yang memiliki profesi wartawan di bidang pers.

“Diketahui, penjahat keji yang melakukan pembunuhan itu adalah seorang okum anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) bernama Jumran yang berpangkat Kelasi Satu. Motivasi pembunuhan adalah masalah pertanggungjawaban asmara,” ujar Plt. Ketua LKBPH PWI Pusat, Chelsia Chan, dalam siaran persnya, pada Sabtu (12/4/25)di Jakarta.

Dijelaskannya, Juwita telah menyuarakan permintaannya agar Jumran bertanggungjawab terhadap kekerasan seksual kepadanya. Namun, apa pun profesi korban, apa pun alasan pembunuhan dan apa pun jenis pengadilan yang akan menyidangkan kasus ini, baik sipil atau pengadilan militer.

“Kami meminta agar semua penegak hukum dan para pemangku kepentingan memperhatikan satu hal: Kasus Ini Tidak Bisa Dianggap Sebagai Salah Satu Kejadian yang Cukup Disesali dan Selanjutnya Diperlakukan Sebagai Tindak Pidana Bermotifkan Asmara,” ujarnya.

Lanjutnya, PWI Pusat berpendapat, pembunuhan terhadap Juwita adalah suatu pelanggaran kemerdekaan manusia untuk berpendapat dan mengkomunikasikan pendapat pribadi. Bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang perempuan yang berprofesi sebagai wartawan itu adalah suatu tindakan jahat dan pelecehan terhadap profesi wartawan secara keseluruhan.

“Secara profesi, wartawan di Indonesia telah sering menjadi sasaran bulan-bulanan pihak berwenang, baik oleh institusi penegak hukum maupun oleh institusi penjaga kedaulatan bangsa. Kekerasan yang dialami oleh wartawan Indonesia berupa kekerasan non-fisik maupun kekerasan fisik yang bahkan telah menjadi catatan dengan nokta merah di UNESCO sebagai lembaga dunia yang memonitor giat jurnalistik,” paparnya.

Indonesia katanya, sering terlihat dan diwartakan UNESCO dan dunia sebagai negara terbelakang karena aparatnya sering melakukan kekerasan fisik kepada wartawan baik berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan, dan bahkan pembunuhan.

PWI Pusat dapat memberikan data kekerasan yang dilakukan aparat kepada para wartawan di Indonesia sejak awal berdirinya Republik Indonesia hingga awal April 2025 saat pengawal Kapori Jendral Listyo Sigit Prabowo menempeleng pewarta foto yang meliput kegiatan Operasi Ketupat Candi 2025 di Semarang. Tapi Semua Angka dan Data Tersebut Tidak Dapat Menggambarkan Berat dan Berbahayanya Pekerjaan Seorang Wartawan.

Konstitusi Republik Indonesia juga menjamin di dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, negara menjamin dan memberikan dasar konstitusional bagi perlindungan hak hidup dengan menyatakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), hak untuk hidup ini adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable) artinya tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun.

Di dalam Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Tentang HAM definisi dari pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Sudah terlalu lama rakyat Indonesia menjadi penonton yang tak berdaya saat melihat kesewenang-wenangan penguasa dan preman berseragam yang menyalahgunakan kekuasaannya terhadap warganya sendiri.

Oleh sebab itu, Indonesia tidak cukup hanya menyesali kejadian keji ini dan berharap agar kelak ke depannya tidak akan terjadi lagi. Indonesia tidak bisa memperlakukan kasus pembunuhan wartawan Indonesia sebagai suatu musibah yang dapat diambil hikmahnya.

“Sekaranglah waktunya bagi para penegak hukum termasuk penjaga kedaulatan bangsa dan negara untuk melakukan bagiannya dalam menjamin keadilan dalam suatu persidangan militer yang terbuka bagi umum, bagi korban, dan bagi warga Indonesia, yang hak-hak dan nyawanya telah tercerabut akibat kekerasan,” tutupnya. (*)

Translate »
error: kabarmetro.id