Donald Trump dan Ayatollah Ali Khamenei. (Kolase iHand)
DI Teheran, kemarahan mendidih. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam wawancara dengan NBC, mengumbar ancaman pemboman terhadap Iran jika negeri para mullah itu tidak tunduk pada kesepakatan nuklir baru. “Sebuah pemboman yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya,” kata Trump.
Pernyataan itu langsung menyulut reaksi. Iran melayangkan surat protes ke Dewan Keamanan PBB, menyebut ucapan Trump sebagai “pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.” Sang Pemimpin Tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei, merespons dengan ancaman balasan. “Jika mereka menyerang, kami akan membalas dengan hebat,” ujarnya.
Ketegangan ini menandai eskalasi baru dalam konflik Amerika-Iran yang tak pernah benar-benar padam sejak Washington keluar dari Perjanjian Nuklir Wina pada 2018. Dalam bayang-bayang perang regional yang terus membara, Iran kembali mengasah ancaman dan menggertak balik dengan kekuatan drone dan pasukan milisi dalam jaringan “Sumbu Perlawanan”.
Bayang-bayang Ledakan dan Balas Dendam
Skenario perang tak lagi sekadar spekulasi. Iran menyebut sepuluh pangkalan militer AS di sekitar wilayahnya sebagai “rumah kaca”, siap dihantam jika Washington melancarkan serangan. Nama Diego Garcia—pulau terpencil yang menjadi pangkalan militer AS-Inggris—ikut disebut sebagai target balasan. “Tidak peduli apakah yang menyerang Inggris atau Amerika, jika pangkalan itu digunakan, akan ada konsekuensinya,” kata seorang pejabat Iran kepada Daily Mail.
Komandan Pasukan Udara dan Antariksa Garda Revolusi, Brigjen Amir Ali Hajizadeh, menyebut 50.000 tentara Amerika di kawasan Teluk dalam posisi rentan. Iran mengingatkan bahwa mereka punya jaringan milisi yang tersebar dari Lebanon hingga Irak—siap menyalakan api perang asimetris kapan saja.
Nuklir di Ujung Tanduk
Ancaman terbaru datang dari Ali Larijani, penasihat dekat Khamenei. “Jika diserang, Iran tak punya pilihan selain mengembangkan senjata nuklir,” katanya dalam siaran televisi. Retorika yang menukik tajam ini menandai pergeseran: dari pembelaan program damai, menjadi sinyal kesiapan untuk eskalasi nuklir.
Walau belum ada bukti bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir secara aktif, pernyataan publik para pejabatnya kian ambigu. Sebagian menyerukan kompromi, sebagian lain menyulut provokasi. Dunia, sementara itu, menahan napas.
Ketimpangan Kekuatan, Risiko Global
Amerika Serikat menghabiskan sekitar 750 miliar dolar AS tiap tahun untuk militernya, jauh dibandingkan Iran yang hanya 5 miliar dolar. Persenjataan mereka tak sebanding—Washington punya teknologi mutakhir dan senjata nuklir; Iran bergantung pada arsenal buatan lokal dan peninggalan rezim Shah.
Namun, seperti ditunjukkan dalam konflik Irak dan Afghanistan, dominasi militer belum tentu menjamin kemenangan mutlak. “AS bisa menang secara militer, tapi dengan harga mahal,” kata Dr. Farzan Sabet, pakar dari Geneva Graduate Institute. “Konflik ini bisa meluas ke sekutu-sekutu AS dan mengacaukan ekonomi global.”
Negosiasi di Bayang-bayang Sanksi
Di balik layar, diplomasi tak sepenuhnya mati. Trump disebut telah mengirim surat pribadi ke Khamenei pada awal Maret. Balasannya tiba, meski Iran menolak dialog langsung. Presiden Iran, Massud Peseschkian, membuka kemungkinan negosiasi tak langsung—jalan yang panjang dan berliku.
Waktu mereka tak banyak. Oktober 2025 menjadi tenggat terakhir sebelum klausul snapback diberlakukan. Jika itu terjadi, semua sanksi terhadap Iran akan kembali secara otomatis.
Perang mungkin belum meletus. Tapi mesiu sudah disulut, dan siapa pun bisa menyalakan apinya kapan saja. (ihand)