BerandaInternasionalSekutu: Jurnalis Jim Acosta Sindir Gedung Putih

Sekutu: Jurnalis Jim Acosta Sindir Gedung Putih

Caption : Suasana Konferensi Pers di Gedung Putih

AMERIKA SERIKAT || September 2018, dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan langsung dari Gedung Putih, Presiden Amerika saat itu memberikan kesempatan bertanya kepada jurnalis CNN, Jim Acosta.

Ketika berdiri, Acosta berkata, “Terima kasih banyak. Jika Anda tak keberatan, setelah saya selesai, saya harap salah satu rekan perempuan saya seperti _____, _____, atau _____ bisa bertanya juga.”

Terlepas dari konteks politik, di balik kesederhanaannya, ini adalah contoh yang baik tentang bagaimana seorang pria menyadari dinamika yang terjadi. Di ruangan seperti itu, bahkan di ruangan yang penuh sorotan, para jurnalis perempuan seringkali diabaikan.

Dan melalui satu kalimat itu, Acosta menunjukkan bahwa seorang pria bisa memilih untuk tidak membiarkan ketidakadilan berlalu begitu saja. Ia melihat. Ia peduli. Ia bertindak.

Tindakan kecil Acosta mungkin tampak sepele, tapi di tengah budaya yang kerap membungkam suara perempuan, itu adalah bentuk keberanian. Ia menunjukkan bahwa menjadi sekutu bukan tentang menjadi pahlawan—tetapi tentang kesadaran, empati, dan pilihan untuk tidak tinggal diam saat ketidakadilan terjadi di depan mata.

Diakui atau tidak, di banyak ruang rapat dan forum diskusi, perempuan masih berjuang agar suaranya didengar. Mereka berbicara dengan keyakinan, hanya untuk disela. Mereka menyampaikan ide-ide cemerlang, hanya untuk melihat orang lain—sering kali pria—mengulangi hal yang sama dan mendapatkan pujian. Mereka hadir, berkontribusi, tapi tetap merasa seolah-olah duduk di pinggir, tak pernah benar-benar diundang ke tengah.

Menjadi sekutu berarti membuka mata dan hati pada kenyataan itu. Ini tentang memperhatikan siapa yang berbicara dan siapa yang diam, bukan karena tak punya sesuatu untuk disampaikan, tapi karena tak diberi ruang. Ini tentang menyadari bahwa keheningan perempuan bukan tanda ketidakmampuan, tapi sering kali akibat dari ruang yang tidak aman bagi suara mereka.

Sekutu sejati akan menggunakan kehadirannya untuk mengubah suasana. Mereka memundurkan diri sedikit agar orang lain bisa maju. Mereka tidak membiarkan ide dicuri atau suara disela. Mereka mengajak rekan perempuan duduk di meja utama, memastikan bahwa ruang itu adalah milik bersama, bukan hanya milik mereka yang paling lantang.

Dan yang terpenting, mereka bersuara. Ketika seorang perempuan disela, mereka mengangkat tangan dan berkata, “Tunggu, dia belum selesai.” Ketika sebuah ide diulang dan diklaim oleh orang lain, mereka mengingatkan, “Itu ide yang dia sampaikan tadi.”

Kalimat-kalimat itu sederhana, tapi bisa menjadi peneguh bagi seseorang yang hampir kehilangan keberanian untuk berbicara lagi.

Menjadi sekutu juga berarti hadir sebelum dan sesudah rapat. Bertanya, “Apa yang ingin kamu sampaikan nanti?” atau “Bagaimana kamu merasa tadi?” Itu bukan sekadar basa-basi. Itu adalah cara menunjukkan bahwa seseorang tidak berjalan sendiri. Bahwa ada yang siap mendengar, mendukung, dan—kalau perlu—berdiri bersamanya saat suaranya dipinggirkan.

Perubahan besar sering kali dimulai dari tindakan kecil. Dari satu kalimat di tengah ruangan yang sunyi. Dari satu tangan yang terulur. Dari satu suara yang berkata, “Aku melihatmu. Aku mendengarmu. Dan aku berdiri di sampingmu.”

Itulah sekutu sejati. Bukan karena dia sempurna. Tapi karena dia memilih untuk tidak tinggal diam.

RUJUKAN

Smith, D. G., & Johnson, W. B. (2020). Good guys: How men can be better allies for women in the workplace. Harvard Business Review Press.

Translate »
error: kabarmetro.id