Foto: Instagram @willysalim
PALEMBANG – Hari itu, langit senja Palembang memantulkan warna keemasan di atas Benteng Kuto Besak. Aroma rempah menguar dari wajan raksasa, menggoda siapa pun yang melintas. Willy Salim, kreator konten yang dikenal dengan aksi sosialnya, tengah sibuk mengaduk rendang. Ia dan timnya berencana membagikan 200 kilogram masakan khas Minang itu untuk berbuka bersama warga. Namun, yang terjadi justru jauh dari rencana.
Ketika Willy pergi sebentar ke toilet —begitu katanya— daging rendang dalam wajan seketika raib. Warga mengerubungi masakan yang belum matang sempurna itu, mengangkatnya dengan piring dan tangan kosong. Dalam hitungan menit, tinggal wajan kosong yang tersisa.
Peristiwa itu langsung viral. Video yang diunggah Willy menuai respons beragam. Ada yang menganggap kejadian itu sekadar insiden spontan. Tapi ada juga yang curiga: benarkah rendang itu hilang begitu saja?
Narasi yang Retak
Dugaan settingan muncul setelah tangkapan layar percakapan grup WhatsApp Pariwisata Palembang beredar. Seorang anggota grup menyebut bahwa Willy sebenarnya tak ke toilet, melainkan ke mobil untuk makan. Pesan lain menyatakan bahwa rendang memang harus habis dalam 25 menit demi menciptakan konten yang menarik. Sebab, jika dibiarkan matang sempurna, butuh waktu hingga sahur.
Kegaduhan makin melebar setelah warganet membandingkan kejadian di Palembang dengan pembagian rendang serupa di Papua. Video dari Papua memperlihatkan warga antre dengan tertib, sementara di Palembang, suasana tampak lebih riuh.
Komentar pun berhamburan. Sebagian menyesalkan cara Willy membuat konten yang dinilai mencoreng nama baik kota. “Seolah-olah orang Palembang ini rakus,” ujar seorang warganet.
Wali Kota Palembang Ratu Dewa buru-buru menegaskan bahwa kedatangan Willy tidak ada hubungannya dengan pemerintah kota. Ia meminta Dinas Pariwisata menyelidiki apakah kejadian itu memang direkayasa. Namun, hingga berita ini ditulis, Kepala Dinas Pariwisata Palembang belum memberikan respons.
Di sisi lain, laporan hukum terhadap Willy pun muncul. Kantor hukum Ryan Gumay Lawfirm melaporkannya ke Polda Sumatera Selatan atas dugaan pelanggaran UU ITE. Laporan itu didasarkan pada dampak sosial yang timbul akibat konten tersebut.
Permintaan Maaf di Ujung Kontroversi
Merespons gelombang kritik, Willy akhirnya mengunggah video klarifikasi. Dalam unggahan di akun Instagram-nya, ia meminta maaf kepada warga Palembang. Ia mengakui kesalahannya dalam perencanaan acara dan menyebut kejadian itu sebagai akibat dari kurangnya persiapan.
“Aku tidak merekayasa, tapi aku juga tidak memperhitungkan situasi ini. Ini kesalahanku,” ujarnya dalam video berdurasi dua menit itu.
Willy mengaku tak kecewa dengan rendang yang hilang. Sebaliknya, ia menganggap itu sebagai bentuk antusiasme warga. Namun, permintaan maafnya tak serta-merta meredam polemik.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru pun angkat bicara. Ia menyayangkan konten yang dianggap mencoreng nama Palembang. “Orang Sumatera Selatan itu terlalu terhormat hanya untuk direndahkan dengan konten seperti ini,” katanya tegas.
Kontroversi ini menjadi cerminan bagaimana media sosial dapat mengubah narasi dalam sekejap. Di balik aksi sosial yang diklaim Willy, tersimpan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah ini benar insiden spontan, atau ada skenario lain yang sengaja disiapkan? Jawaban mungkin ada di rekaman kamera, percakapan yang bocor, atau justru di riuhnya opini publik yang terus bergulir. (iha)