Ilustrasi – Proyek pembangunan PLTU Tarakan di Kalimantan Utara. (istimewa)
JAKARTA -Seakan tak berkesudahan, dugaan korupsi kembali mencuat di tubuh PT PLN (Persero). Kali ini, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalimantan Barat I menjadi sorotan setelah Kepolisian Republik Indonesia mendeteksi adanya penyimpangan dalam proyek bernilai Rp 1,2 triliun itu.
Bermula dari lelang yang dinilai bermasalah, proyek yang digarap sejak 2009 itu berujung mangkrak. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menemukan indikasi pemenang lelang tidak memenuhi syarat teknis, tetapi tetap mendapat kontrak. Konsorsium yang memenangkan tender kemudian mengalihkan pengerjaan ke dua perusahaan asal Tiongkok, namun proyek tak kunjung selesai.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidaksesuaian perencanaan dan lonjakan biaya akibat desain ulang infrastruktur utama. Tak hanya PLTU Kalbar I, audit juga mencatat keterlambatan serupa di beberapa proyek listrik lainnya, dengan akumulasi kerugian mencapai triliunan rupiah.
Penyidik kini menelusuri aliran dana dan dugaan penyalahgunaan wewenang di lingkaran direksi PLN periode terdahulu. Mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar disebut-sebut sudah diperiksa, meski status hukumnya masih sebagai saksi.
Sementara itu, pengamat menyoroti lemahnya pengawasan dalam proyek listrik berskala besar. Keterlibatan oligarki bisnis batu bara dalam rantai pasokan energi disebut menjadi salah satu faktor yang mempersulit transparansi proyek-proyek semacam ini.
PLN sendiri menyatakan bakal kooperatif dalam penyelidikan. Namun, hingga kini belum ada pernyataan resmi terkait langkah perbaikan dalam tata kelola proyek yang kerap berujung masalah.
Kelemahan Pengawasan Jadi Celah
Beberapa waktu lalu Komisi VI telah mengundang PLN untuk membahas berbagai persoalan di tubuh perusahaan pelat merah itu. Salah satu yang menjadi perhatian adalah proyek PLTU yang mangkrak dan dugaan korupsi di dalamnya.
Menurut Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim, lemahnya pengawasan terhadap proyek-proyek PLN selama ini menjadi celah bagi praktik korupsi yang terus berulang. “Seharusnya proyek-proyek strategis seperti ini diawasi dengan ketat, tetapi yang terjadi malah banyak yang tidak transparan sejak tahap perencanaan,” kata Rivqy.
Menurut Rivqy, monopoli PLN dalam penyediaan listrik nasional tanpa adanya pesaing yang sepadan justru membuat kinerja perusahaan tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Ia menyoroti bagaimana skema pengadaan proyek sering kali hanya melibatkan segelintir perusahaan yang memiliki hubungan erat dengan pejabat PLN. “Ketika persaingan sehat tidak ada, kualitas proyek sering kali dikorbankan. Ini bukan hanya masalah korupsi, tetapi juga tata kelola yang buruk,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai persoalan mangkraknya proyek PLTU juga berkaitan dengan perencanaan kebutuhan listrik yang tidak matang. Ia menyebut banyak proyek PLTU dibangun tanpa mempertimbangkan permintaan listrik yang realistis, sehingga akhirnya mengalami kendala dalam penyelesaian. “Banyak pembangkit yang selesai dibangun, tetapi justru overcapacity. Ini menunjukkan ada perencanaan yang tidak cermat sejak awal,” kata Fabby.
Di tengah polemik dugaan korupsi di proyek PLTU, pengusutan oleh aparat penegak hukum dinilai harus dilakukan hingga ke akar masalah. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara, Nawawi Pomolango, mengatakan bahwa pihaknya juga tengah memantau perkembangan kasus ini meski belum melakukan penyelidikan lebih lanjut. “Kami melihat ada indikasi yang bisa dikembangkan, tetapi saat ini kami menghormati proses yang sedang berjalan di kepolisian,” ujar Nawawi. (iha)