BerandaNasionalKetika Solidaritas Berujung PHK Massal: Ironi Buruh Pabrik di...

Ketika Solidaritas Berujung PHK Massal: Ironi Buruh Pabrik di Cirebon

Demo ribuan karyawan yang berakhir dengan penutupan pabrik. (Istimewa)

LANGIT mendung menaungi kawasan industri di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, ketika suara mesin-mesin tekstil PT Yihong Novatex Indonesia tak lagi terdengar. Tak ada hiruk pikuk pekerja berseragam yang biasanya memenuhi pelataran pabrik. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan seonggok ironi: ribuan pekerja yang dulu menuntut keadilan kini memohon agar pintu pabrik dibuka kembali.

Semuanya bermula dari pemecatan tiga buruh pada awal Maret. Pemutusan kontrak itu, menurut manajemen, berdasar pada kinerja dan masa kerja yang telah usai. Namun bagi rekan-rekan sesama buruh, keputusan itu semena-mena. Aksi spontan pun muncul: mogok kerja selama empat hari. Solidaritas yang bermaksud membela, justru menjadi awal dari bencana.

MOGOK kerja itu mengunci seluruh roda produksi. Pesanan buyer tertunda. PT Yihong mengklaim merugi. Dalam hitungan hari, keputusan drastis diumumkan: penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja terhadap 1.126 pekerja.

“PHK ini akibat mogok kerja tidak sah yang membuat pesanan buyer dibatalkan,” begitu bunyi surat resmi dari manajemen perusahaan, tertanggal 10 Maret 2025.

Kompensasi dijanjikan akan dibayarkan seminggu kemudian. Namun, janji itu tidak serta-merta meredakan amarah dan kesedihan para buruh. Ratusan dari mereka turun ke jalan, kali ini bukan untuk menuntut pengembalian tiga rekan, melainkan pekerjaan mereka sendiri.

SURYANA, salah satu buruh, masih belum percaya. “Kami dulu hanya menuntut kejelasan status kerja dan keadilan bagi tiga teman kami. Kenapa jadi kami semua yang dipecat?” katanya sambil mengangkat spanduk protes di depan Kantor Bupati Cirebon, 11 Maret lalu.

Lebih mengherankan lagi, menurut Suryana, bagian HRD yang bertugas menggaji para pekerja juga turut dipecat. “Lalu siapa yang akan menghitung gaji kami? Gaji seharusnya cair tanggal 14,” ujarnya.

Menurut Suryana, perusahaan seolah menggunakan dalih kepailitan tanpa bukti nyata. Ia menyebut ada 617 pekerja yang seharusnya sudah diangkat menjadi karyawan tetap, tapi tak kunjung dilakukan.

FIRMAN Desa dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat membenarkan kronologi tersebut. Ia menyebut bahwa aksi mogok kerja selama empat hari menjadi pemicu utama lumpuhnya operasional pabrik. “PHK massal ini akibat demo. Tuntutannya dua: kembalikan tiga orang yang di-PHK dan ubah status PKWT ke tetap,” kata Firman.

Sebelum Lebaran, Disnakertrans sempat mempertemukan manajemen dan serikat pekerja. Namun negosiasi berakhir buntu. Manajemen bersikukuh bahwa ketiga buruh hanya tidak diperpanjang kontraknya.

Sikap keras kepala dari kedua pihak—manajemen dan buruh—akhirnya membawa pada titik tak ada jalan kembali. Dan seperti biasa, yang kalah tetap para buruh.

KEMENTERIAN Perindustrian mulai mencermati kasus ini. Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengakui bahwa pihaknya tengah mendalami laporan PHK massal dari pabrik alas kaki itu. “Kita akan bahas minggu depan,” ujarnya singkat.

PHK di PT Yihong menambah panjang daftar korban di sektor industri sepatu dan tekstil nasional. Sebelumnya, PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh Indonesia telah lebih dulu melepas ribuan buruhnya.

Satu demi satu, pabrik-pabrik raksasa merumahkan para buruh. Di tengah kelesuan industri dan ketidakpastian pasar global, buruh menjadi pion yang mudah dikorbankan.

KINI, di Desa Kanci, suara mesin telah digantikan oleh doa para buruh yang ingin kembali bekerja. Mereka yang dahulu memperjuangkan keadilan kini berjuang untuk bertahan hidup. Solidaritas memang mulia, tapi dalam dunia industri yang dingin, ia kerap dibalas dengan keputusan sepihak.

Dan dalam kisah ini, ironi menggantung di udara: ketika suara protes demi tiga orang, dibayar lunas dengan nasib ribuan lainnya. (iha)

Translate »
error: kabarmetro.id