Foto: Getty Images
DAMASKUS — Kekerasan di Suriah kembali meningkat setelah rezim baru memperketat operasi terhadap militan pendukung mantan Presiden Bashar al-Assad. Lebih dari 1.000 orang tewas dalam serangkaian serangan di pesisir Suriah, termasuk wanita dan anak-anak dari kelompok minoritas Alawi.
Menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), pembunuhan massal terjadi di Jableh, Baniyas, dan daerah sekitarnya, menjadikannya salah satu eskalasi paling brutal dalam 13 tahun konflik sipil di negara itu. “Ini adalah pembantaian sektarian yang bertujuan mengusir penduduk Alawi dari rumah mereka,” kata Rami Abdulrahman dari SOHR, dikutip Reuters, Minggu (9/3/2025).
Situasi memanas setelah kelompok militan pro-Assad melakukan penyergapan terhadap pasukan keamanan, menewaskan puluhan personel. Sebagai balasan, rezim baru mengerahkan pasukan tambahan ke kota-kota pesisir dan membentuk komite darurat untuk menangani pelanggaran di lapangan.
Eksodus Warga Pesisir
Ketidakstabilan ini mendorong ribuan warga Alawi dan Kristen meninggalkan rumah mereka sejak Kamis (6/3). Ratusan orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, mencari perlindungan di pangkalan militer Rusia di Hmeimim, Latakia.
Sejumlah warga dan pemantau independen melaporkan kejadian pembunuhan bergaya eksekusi, penjarahan, dan pembakaran rumah yang berlangsung sepanjang malam di Baniyas dan desa sekitarnya. Reuters belum dapat memverifikasi laporan tersebut secara independen.
Presiden sementara Suriah, Ahmed Sharaa, meminta pasukan di lapangan tetap mematuhi norma kemanusiaan. “Yang membedakan kita dari musuh adalah komitmen kita terhadap nilai-nilai kita. Warga sipil dan tawanan harus diperlakukan dengan baik,” katanya dalam pidato yang disiarkan televisi, Jumat (7/3).
Sejak penggulingan Assad pada Desember 2024, Suriah masih dilanda ketidakpastian. Kekhawatiran komunitas internasional kini mengarah pada kemampuan pemerintahan baru dalam membangun sistem inklusif yang bisa mengakhiri kekerasan sektarian di negeri itu. (iha/*)