Didit Hediprasetyo dengan Megawati (Instagram)
JAKARTA – Didit Hediprasetyo lebih dikenal sebagai perancang busana, bukan pemain di panggung politik. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, namanya mencuat di tengah riak politik nasional. Putra Presiden Prabowo Subianto ini terlihat sebagai sosok yang menjahit kepentingan elite, terutama antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo.
Pada akhir Maret 2025, Didit melakukan serangkaian pertemuan yang menarik perhatian publik. Ia berlebaran ke rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, lalu tak lama berselang, ia sudah berada di Solo untuk bersilaturahmi dengan Presiden ke-7 Joko Widodo. “Mas Didit ini sosok yang menarik karena bisa mencairkan suasana dan melebur sekat kepentingan politik yang selama ini menghambat komunikasi,” ujar Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, Senin, (31/3/2025), dilansir dari Kompas.com.
Di rumah Megawati, Didit tidak datang sendiri. Ia ditemani Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra yang juga Ketua MPR RI, serta Pinka Haprani, cucu Megawati. Pertemuan ini menjadi sinyal bahwa Didit tengah memainkan peran diplomasi informal —jalur yang lebih lentur dibandingkan pendekatan politik formal yang kerap diwarnai tarik-menarik kepentingan.
Langkah Didit tidak berhenti di situ. Sebelumnya, pada 22 Maret, ia menggelar pertemuan lebih luas: mengumpulkan anak-anak presiden dari berbagai era dalam sebuah jamuan ulang tahun. Dari unggahan Yenny Wahid dan Annisa Pohan, terlihat kehadiran Puan Maharani, Guntur Soekarnoputra, Agus Harimurti Yudhoyono, Kaesang Pangarep, hingga Ilham Akbar Habibie. Banyak yang melihat momen ini bukan sekadar perayaan pribadi, melainkan bagian dari upaya membangun komunikasi lintas generasi elite politik.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai manuver ini sebagai upaya menyeimbangkan komunikasi politik antara Solo dan Teuku Umar. “Didit adalah refleksi politik Prabowo. Safari politiknya ke Jokowi dan Mega tentu bagian dari strategi menjaga harmoni di antara dua poros ini,” ujarnya. Dalam situasi politik yang sarat ketegangan, figur seperti Didit bisa berperan sebagai mediator yang bergerak tanpa terikat kepentingan partai secara langsung.
Meski demikian, tidak semua pihak yakin dengan peran yang mulai Didit jalankan. “Tugas ini tidak mudah. Ia selama ini tidak aktif di politik praktis,” kata Agung. Jika benar Didit hendak menjadi jembatan politik, tantangan besar menantinya. PDI-P masih dalam tarik ulur soal posisi mereka di pemerintahan Prabowo, sementara hubungan Jokowi dan Megawati masih berada di titik kritis.
Latar belakangnya sebagai desainer justru bisa menjadi keunggulan utama. Seorang perancang busana terbiasa merajut benang yang berbeda-beda menjadi satu kesatuan yang harmonis. Kini, Didit menghadapi tugas serupa—merajut benang-benang politik yang kusut. Apakah ia akan berhasil? (aih)