BerandaTak BerkategoriDaya Beli Melemah: Banyak Warga Pilih Puasa-Belanja daripada Makan-Tabungan

Daya Beli Melemah: Banyak Warga Pilih Puasa-Belanja daripada Makan-Tabungan

Ilustrasi – Suasana sepi di sebuah mal besar di Bandung. (net)
JAKARTA – Adzan magrib berkumandang dari toa masjid di ujung jalan. Andri menepikan sepeda motornya. Lalu membatalkan puasa.dengan meneguk air kemasan gelas plastik. Setelah itu tancap gas lagi menuju rumahnya yang masih berjarak 20-an menit.
   Ini tidak biasanya. Ramadan tahun-tahun sebelumnya, pegawai mitra PLN Depok itu akan belok ke warung terdekat begitu tiba waktu magrib di jalan. Sekarang ia memilih makan di rumah walau harus menerobos dulu macet setengah jam.
Hampir sama dengan Dian, karyawan Bank BJB Kantor Cabang Tamansari, Bandung. Sudah mendekati magrib, ia tak segera memesan makan. Ia sudah merasa cukup dengan segelas air putih di meja kerjanya. Makan belakangan di rumah setelah pulang lembur.
Fenomena ini sejalan dengan kondisi restoran atau kafe yang bulan puasa sekarang tidak begitu ramai pada saat berbuka. Acara buka bersama di rumah makan dan hotel yang dulu bisa terjadwal tiap hari kini hanya satu dua kali saja dalam seminggu. Mal dan pusat belanja juga tidak lagi seramai dulu. Umumnya orang menahan diri untuk mengeluarkan uang, bahkan hanya untuk jajan makanan ringan.
Momentum Ramadan dan Lebaran tahun ini menunjukkan anomali aktivitas konsumsi masyarakat Indonesia. Tren belanja menurun, sedangkan tabungan makin terkuras. Berdasarkan data Mandiri Spending Index (MSI), per pertengahan Februari 2025, belanja masyarakat tumbuh 2,3% dibanding akhir Januari 2025. Kenaikan ini terjadi setelah sebelumnya belanja mengalami normalisasi dari puncak konsumsi akhir 2024 ke awal 2025.
Pemerintah telah menggelontorkan berbagai insentif atau paket kebijakan ekonomi untuk menangani anomali yang disebabkan pelemahan daya beli itu menjelang Lebaran, termasuk kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi kelas pekerja maupun bantuan hari raya (BHR) untuk para mitra aplikator transportasi online dan kurir.
Di luar itu, pemerintah belum merancang stimulus tambahan untuk menjaga daya beli masyarakat supaya tingkat konsumsinya terjaga.
“Jadi kita belum bicara stimulus tambahan, tapi kita mendorong THR untuk berbagai sektor, termasuk bonus hari raya bisa diturunkan, sehingga tentu kita mau jaga private spending, consumer spending,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantornya, Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Makan Tabungan 
Secara historis, Ramadan merupakan puncak konsumsi masyarakat Indonesia. Konsumsi juga biasanya sudah melonjak sebelum Ramadan yang tahun ini jatuh pada 1 Maret, terutama untuk kebutuhan makanan dan minuman.
Apabila dilihat lebih rinci, semua kelompok belanja mengalami perlambatan kecuali mobilitas. MSI Mobilitas mencatat kenaikan menjadi 297,5. Sedangkan kelompok belanja lainnya seperti barang konsumsi, rumah tangga, elektronik, hiburan, pendidikan, dan medis mengalami penurunan.
Perubahan pola belanja juga terlihat dalam kategori kecantikan. Berdasarkan survei Venas Skincare Habit 2024, sebanyak 63% responden mengurangi frekuensi belanja produk perawatan kulit, naik signifikan dibandingkan 54% di 2023 dan 51% di 2022. Tidak hanya itu, 41% responden juga menekan pengeluaran untuk produk kecantikan, sementara hanya 24% yang tetap mempertahankan anggarannya.
Data tingkat tabungan juga mengalami penurunan. Tingkat tabungan kelompok bawah terus dalam tren yang melemah dan merupakan yang terendah saat ini yakni pada level 79,4 (Februari 2025). Angka ini lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yakni pada level 82,4. Senada, tingkat tabungan kelompok menengah juga melandai dan merupakan yang terendah sejak Maret 2024.
Dengan semakin terdepresiasinya indeks tabungan kelompok bawah, artinya semakin banyak masyarakat yang melakukan makan tabungan (‘mantab’) untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Melihat realitas di lapangan, pantauan Posmetro Jakarta pada beberapa mal di wilayah pusat dan selatan Jakarta situasinya juga tampak sepi. Begitupun pusat belanja di Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Misalnya ketika jelang berbuka puasa, restoran dan sejenisnya masih lengang. Begitupun akhir pekan. Toko pakaian, sepatu, dan lainnya juga tampak tidak begitu ramai.
Hal menarik lainnya yang patut dicermati adalah kelompok hiburan yang turun cukup dalam, terutama kelompok belanja olahraga, hobi, dan hiburan. Sedangkan perawatan kecantikan, hotel, dan perhiasan cenderung stabil.
Porsi belanja restoran paling banyak terserap untuk restoran yakni 20,2%. Belanja kelompok ini kembali ke porsi 20% untuk pertama kalinya sejak Oktober 2023. Porsi belanja supermarket juga naik ke 15,9%. Belanja restoran dan supermarket sudah memakan porsi 35,6% atau hampir 40%. Data tersebut mengindikasikan jika belanja masyarakat saat ini hanya terkonsentrasi kepada kebutuhan pokok dan primer, seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari.
Proporsi olahraga, hobi, dan hiburan yang cenderung menurun atau mengalami normalisasi sejak akhir 2024 atau sekitar tiga bulan lalu. Hal ini mengindikasikan bahwa tren pengeluaran semakin beralih ke kebutuhan yang lebih primer.
Sementara olahraga, hobi, dan hiburan terdepresiasi dari 7,7% ke 6,5%. Kenaikan proporsi nilai belanja juga terefleksi dalam hal rumah tangga yakni dari 12,8% ke 13,1%.
Tingkat tabungan kelompok bawah terus dalam tren yang melemah dan merupakan yang terendah saat ini yakni pada level 79,4 (Februari 2025). Angka ini lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yakni pada level 82,4. Senada, tingkat tabungan kelompok menengah juga melandai dan merupakan yang terendah sejak Maret 2024.
Dengan semakin terdepresiasinya indeks tabungan kelompok bawah, artinya semakin banyak masyarakat yang melakukan ‘mantab’ untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka tabungan masyarakat akan terus tergerus dan dapat berujung pada peningkatan pinjaman online (pinjol) serta semakin sulitnya kondisi masyarakat bawah untuk dapat bertahan hidup.
Selain itu, tabungan masyarakat yang terus terkuras juga semakin mempersulit industri perbankan dalam menyalurkan kredit. Ketika hal tersebut semakin parah, maka net interest margin (NIM) akan semakin kecil. Perbankan yang bergantung pada dana masyarakat akan kesulitan dalam menjaga keseimbangan likuiditas.
Deflasi Beruntun
Menurunnya nilai belanja menjadi salah satu faktor yang memicu deflasi di Februari 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi baik secara bulanan (-0,48% month-to-month) maupun tahunan (-0,09% year-on-year).
Deflasi dua bulan beruntun ini mengejutkan banyak pihak karena terjadi menjelang Ramadan, periode yang biasanya ditandai oleh lonjakan konsumsi. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa deflasi Februari 2025 lebih banyak disebabkan oleh diskon listrik yang diberlakukan pemerintah, serta harga pangan yang relatif stabil.
“Komoditas utama penyebab deflasi Februari adalah diskon tarif listrik, daging ayam ras, cabai merah, tomat, dan telur ayam ras,” ujar Amalia dalam konferensi pers, Senin (3/3/2025).
Namun, faktor daya beli yang melemah juga berkontribusi dalam tren ini. Banyak masyarakat memilih menahan belanja dan lebih selektif dalam mengalokasikan pengeluaran.
Meski awal Ramadan relatif sepi, para pengusaha pusat perbelanjaan tetap optimistis jumlah pengunjung akan kembali meningkat seiring dengan tradisi belanja Lebaran yang sudah menjadi kebiasaan tahunan masyarakat Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengatakan lonjakan pengunjung biasanya terjadi saat tunjangan hari raya (THR) dibayarkan, sekitar dua minggu sebelum Idul Fitri.
“Pada periode ini, masyarakat mulai berburu berbagai kebutuhan Lebaran, seperti pakaian baru, makanan, dan hadiah untuk sanak saudara,” ujar Alphonzus.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah lonjakan ini akan cukup untuk menutup lesunya konsumsi selama awal Ramadan? Para ekonom menilai bahwa tren konsumsi tahun ini mungkin tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya, mengingat kondisi ekonomi yang masih penuh tantangan.
Jika tren konsumsi terus melemah, bukan tidak mungkin ekonomi nasional akan mengalami tekanan lebih dalam di kuartal kedua 2025. Pemerintah perlu mengambil langkah antisipatif untuk mencegah perlambatan lebih lanjut, salah satunya dengan memperkuat stimulus ekonomi agar daya beli masyarakat bisa tetap terjaga. (iha)
Translate »
error: kabarmetro.id